JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah Amerika Serikat dilaporkan melancarkan serangan udara terhadap situs nuklir bawah tanah Fordo milik Iran pada Jumat dini hari waktu setempat. Serangan ini disebut dilakukan oleh enam unit pesawat pengebom siluman B-2 Spirit, yang diberangkatkan dari pangkalan udara di kawasan Teluk.
Menurut sumber intelijen Barat yang dikutip oleh beberapa media internasional, serangan ini menargetkan fasilitas pengayaan uranium Fordo yang selama ini berada di bawah perlindungan gunung dan dikenal sebagai salah satu fasilitas paling terlindungi milik Iran. Serangan udara tersebut diyakini dilakukan dengan menggunakan bom penembus bunker (bunker buster) tipe GBU-57 MOP (Massive Ordnance Penetrator).
Departemen Pertahanan AS belum memberikan pernyataan resmi, namun beberapa pejabat tinggi pertahanan yang enggan disebutkan namanya mengonfirmasi bahwa serangan tersebut merupakan “operasi terbatas dan terukur” yang bertujuan untuk menghentikan peningkatan aktivitas nuklir Iran yang dinilai melanggar perjanjian internasional.
Di sisi lain, pemerintah Iran langsung mengutuk serangan itu dan menyebutnya sebagai tindakan agresi terang-terangan terhadap kedaulatan nasional. Jubir Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, mengatakan bahwa “Iran berhak untuk merespons dengan tegas segala bentuk pelanggaran atas wilayah dan fasilitas strategis kami.”
Fasilitas Fordo, yang dibangun lebih dari 80 meter di bawah permukaan tanah dekat kota Qom, telah menjadi perhatian dunia internasional sejak Iran mulai mengaktifkan kembali pengayaan uranium hingga tingkat tinggi. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebelumnya telah menyuarakan keprihatinan soal akses pengawasan yang semakin terbatas di lokasi tersebut.
Serangan ini diperkirakan akan memicu eskalasi lebih lanjut di kawasan, terutama di tengah hubungan yang sudah sangat tegang antara Israel, Iran, dan sekutu-sekutu mereka masing-masing. Para analis memperingatkan bahwa konflik terbuka antara AS dan Iran bisa memicu instabilitas luas di kawasan Timur Tengah serta berdampak pada harga minyak global.