Awas Kolaps saat Maraton, Dokter Ingatkan Persiapan Fisik Bukan Sekadar Formalitas

seriale-turcesti.biz – Ajang lari maraton semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Banyak kota besar rutin menggelar acara lari yang mampu menarik ribuan peserta, mulai dari pelari profesional hingga pemula yang sekadar ingin mencoba tantangan baru. Namun di balik antusiasme itu, risiko kesehatan tetap mengintai. Tidak sedikit kasus pelari yang kolaps bahkan harus mendapatkan penanganan darurat di tengah lomba. Para dokter pun mengingatkan, persiapan fisik bukan sekadar formalitas.

Lari maraton bukan olahraga ringan. Jarak 42,195 kilometer menuntut kekuatan jantung, otot, hingga mental yang benar-benar siap. Ketika tubuh dipaksa bekerja melebihi batas tanpa persiapan yang tepat, berbagai masalah bisa muncul. Mulai dari dehidrasi, kram otot, kelelahan ekstrem, hingga gangguan irama jantung yang berpotensi fatal. Itulah mengapa dokter menegaskan bahwa maraton bukan sekadar acara untuk gaya-gayaan atau mengejar foto di garis finis.

Kesalahan paling umum dari pelari pemula adalah meremehkan latihan. Ada yang hanya berlatih beberapa kali lalu langsung yakin mampu menyelesaikan maraton. Padahal tubuh perlu adaptasi bertahap terhadap intensitas lari jarak panjang. Idealnya, persiapan dilakukan minimal tiga hingga enam bulan sebelum lomba, dengan peningkatan jarak latihan secara berkala. Tujuannya agar jantung dan otot sudah terbiasa bekerja optimal dalam durasi panjang.

Selain latihan, pelari juga harus memperhatikan asupan nutrisi dan hidrasi. Banyak pelari yang terlalu fokus pada kecepatan hingga lupa memastikan tubuh mendapat cukup cairan dan elektrolit. Ketika tubuh dehidrasi, sirkulasi darah terganggu dan risiko kolaps meningkat. Belum lagi jika cuaca panas, tubuh akan bekerja lebih keras untuk menjaga suhu tetap stabil. Dokter juga mengingatkan pentingnya asupan karbohidrat sebelum lomba untuk menyediakan energi yang cukup sepanjang lari.

Pemeriksaan kesehatan juga tidak boleh dilewatkan. Beberapa orang mungkin memiliki kondisi jantung tersembunyi yang tidak disadari, namun bisa terpicu saat melakukan aktivitas berat. Pemeriksaan sederhana seperti EKG, cek tekanan darah, dan konsultasi dengan dokter olahraga dapat membantu mengukur batas kemampuan tubuh. Jika ada gangguan, lebih baik menunda atau memilih kategori lari yang lebih pendek seperti 5K atau 10K.

Selain persiapan fisik, kontrol kondisi mental juga tidak kalah penting. Antusiasme berlebihan sering membuat pelari memaksakan diri saat lomba. Padahal, mendengarkan sinyal tubuh adalah hal utama. Jika mulai pusing, mual, sesak napas, atau nyeri dada, jangan ragu untuk memperlambat atau berhenti. Tim medis yang berjaga di sepanjang rute lomba siap memberikan bantuan, sehingga keselamatan tetap menjadi prioritas.

Pada akhirnya, tujuan mengikuti maraton adalah meningkatkan kesehatan dan merasakan pengalaman positif, bukan justru membahayakan nyawa. Tidak masalah jika butuh lebih lama untuk mencapai garis akhir, atau bahkan tidak bisa menyelesaikan lomba sekalipun. Yang terpenting adalah tubuh tetap aman dan tidak mengalami cedera jangka panjang.

Dokter menegaskan bahwa persiapan maraton harus dilakukan dengan serius. Mulai dari program latihan yang terstruktur, pola makan yang mendukung, hingga evaluasi kondisi kesehatan. Anggaplah persiapan sebagai bagian dari perjalanan maraton itu sendiri. Kemenangan sejati bukan hanya saat melintasi garis finis, tetapi ketika kita mampu menjaga tubuh tetap sehat selama prosesnya.

Jadi, sebelum mendaftarkan diri ke maraton berikutnya, pastikan kamu benar-benar siap. Maraton bukan sekadar ajang pembuktian diri, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan disiplin, kesabaran, dan kesadaran terhadap batas tubuh. Dengan persiapan yang tepat, kita bisa menikmati setiap langkah menuju garis akhir tanpa khawatir akan risiko yang membahayakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *