seriale-turcesti.biz – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 121/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pembentukan lembaga independen pengawas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam waktu dua tahun justru memicu gelombang kritik pedas dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak legislator menilai putusan ini berpotensi membuka celah bagi intervensi eksekutif, di mana pengawasan sistem merit ASN seolah-olah menjadi “dikte Presiden” tanpa pengawasan yang seimbang dari parlemen. Keputusan MK ini, yang lahir dari gugatan Perludem, KPPOD, dan ICW, diharapkan memperkuat birokrasi netral pasca-pembubaran Komisi ASN (KASN) pada 2024, tapi kini malah menjadi arena perdebatan sengit tentang keseimbangan kekuasaan negara.
Latar Belakang Putusan: Langkah MK untuk Birokrasi Bebas Politik
Putusan MK yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis, 16 Oktober 2025, menyatakan bahwa Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar prinsip negara hukum, kepastian hukum, dan kesetaraan dalam pemerintahan yang adil. Pasal tersebut sebelumnya memberi kewenangan Presiden untuk mendelegasikan pengawasan merit sistem ASN ke kementerian atau lembaga terkait, yang kini dinilai rentan konflik kepentingan.
Dalam amarinya, MK memerintahkan pemerintah dan DPR membentuk lembaga independen yang bertugas mengawasi penerapan asas merit, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN. Lembaga ini harus berdiri paling lambat dua tahun sejak putusan diucapkan, sebagai pengganti KASN yang dibubarkan melalui revisi UU ASN tahun lalu. “Keberadaan lembaga independen ini penting untuk menjamin sistem merit diterapkan secara konsisten, bebas dari intervensi politik,” tegas Suhartoyo, menekankan bahwa pengawasan eksternal adalah kunci menghindari politisasi birokrasi.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyambut baik putusan ini sebagai momentum akhiri politisasi birokrasi. “Ini langkah fundamental untuk checks and balances, memastikan ASN profesional dan netral,” ujar Titi saat dikonfirmasi Media Indonesia. Namun, di kalangan DPR, nada berbeda terdengar lantang.
Kritik Tajam DPR: “Seolah Dikte Presiden, DPR Terpinggirkan”
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Ahmad Irawan, menjadi salah satu suara paling vokal yang mengkritik putusan MK. “Kami akan pelajari lebih lanjut, tapi ini terasa seperti diktat Presiden. Pengawasan ASN yang seharusnya melibatkan DPR secara substansial justru didelegasikan ke lembaga independen yang bisa dimanipulasi eksekutif,” tegas Ahmad dalam pernyataan resminya kepada Tempo pada Jumat pagi. Ia khawatir pembentukan lembaga baru ini akan melemahkan peran DPR dalam pengawasan birokrasi, terutama karena prosesnya harus melibatkan persetujuan DPR, tapi tanpa jaminan keterlibatan mendalam.
Kritik serupa dilontarkan oleh anggota DPR dari Fraksi Gerindra, yang menyebut putusan ini “kurang matang” karena tidak mendefinisikan mekanisme pengawasan DPR terhadap lembaga baru tersebut. “Seolah-olah MK memaksa kami membentuk lembaga yang akhirnya jadi alat presiden untuk intervensi ASN. Ini bertentangan dengan fungsi legislasi dan pengawasan DPR,” kata seorang legislator senior yang enggan disebut namanya. Kekhawatiran ini diperparah oleh sejarah pembubaran KASN, yang dianggap DPR sebagai upaya eksekutif mengonsolidasikan kekuasaan atas birokrasi.
Polemik ini mencerminkan ketegangan klasik antara eksekutif dan legislatif. Sejak revisi UU ASN 2023, pengawasan merit sistem dialihkan ke Kementerian PAN-RB dan BKN, yang berada di bawah kendali Presiden. Putusan MK seharusnya mengoreksi itu dengan lembaga independen, tapi kritik DPR menyoroti risiko: tanpa keseimbangan, lembaga baru bisa jadi “boneka” presiden, rentan politisasi jelang Pemilu 2029.
Implikasi Hukum dan Politik: Ancaman Krisis Konstitusi?
Para pengamat memperingatkan bahwa kritik DPR ini bisa memicu krisis konstitusi jika tidak ditangani matang. “Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi implementasinya butuh dialog DPR-pemerintah. Jika DPR menolak, bisa jadi uji materi ulang,” kata pakar hukum konstitusi dari Universitas Gadjah Mada, Bivitri Susanti. Titi Anggraini menambahkan, pembentukan lembaga pengawas ASN harus jadi “constitutional warning” untuk akhiri intervensi politik, tapi prosesnya wajib transparan dengan dialog publik.
Secara politik, putusan ini datang di tengah transisi pemerintahan Prabowo-Gibran, di mana reformasi birokrasi menjadi prioritas. Kritik DPR bisa jadi strategi oposisi untuk menekan eksekutif, terutama jika lembaga baru terbukti lemah. Namun, pendukung putusan seperti ICW menilai ini peluang emas: “Pengawasan independen akan cegah ASN jadi alat politik, seperti kasus pilkada 2024,” ujar Febri Setyawan dari ICW.
Kontroversi ini menggarisbawahi tantangan demokrasi Indonesia: bagaimana menyeimbangkan independensi lembaga negara tanpa mengorbankan keseimbangan kekuasaan. Putusan MK adalah langkah maju untuk birokrasi merit-based, tapi kritik DPR mengingatkan bahwa tanpa partisipasi legislatif yang setara, pengawasan ASN berisiko jadi “dikte presiden.” DPR dan pemerintah diharapkan segera bentuk tim kerja bersama untuk realisasi lembaga baru, sebelum dua tahun batas waktu MK habis. Di tengah dinamika politik 2025, apakah ini akan jadi momentum reformasi atau sumber konflik baru? Waktu akan menjawab.