JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Tahun 2025 menandai 100 tahun sejak penerbitan pertama Mein Kampf, manifesto politik Adolf Hitler yang diterbitkan pada 18 Juli 1925. Buku ini, yang ditulis selama Hitler mendekam di penjara setelah kudeta gagal di Munich, menjadi landasan ideologi Partai Nazi dan memainkan peran kunci dalam menyebarkan gagasan rasisme, antisemitisme, dan nasionalisme ekstrem yang membawa dunia pada kehancuran Perang Dunia II. Meski telah berlalu satu abad, ideologi berbahaya yang terkandung dalam Mein Kampf tetap relevan sebagai peringatan akan potensi destruktif dari intoleransi dan propaganda.
Asal-Usul dan Isi Mein Kampf
Mein Kampf, yang berarti “Perjuanganku” dalam bahasa Jerman, adalah kombinasi otobiografi dan manifesto politik. Dalam dua volume, Hitler menguraikan visinya tentang supremasi ras Arya, kebencian terhadap kaum Yahudi, dan rencana ekspansionis Jerman untuk menciptakan Lebensraum (ruang hidup) di Eropa Timur. Buku ini ditulis dengan gaya yang berbelit-belit dan penuh kemarahan, mencerminkan pandangan dunia Hitler yang terdistorsi oleh ideologi rasis dan totalitarian.
Meskipun awalnya kurang mendapat perhatian, Mein Kampf menjadi bacaan wajib di Jerman setelah Nazi berkuasa pada 1933. Buku ini disebarluaskan secara masif, bahkan diberikan sebagai hadiah pernikahan oleh pemerintah Nazi. Namun, setelah kekalahan Jerman pada 1945, buku ini dilarang di banyak negara karena dianggap sebagai alat propaganda yang berbahaya.
Konteks Sejarah dan Dampaknya
Penerbitan Mein Kampf pada 1925 terjadi di tengah ketidakstabilan politik dan ekonomi Republik Weimar. Krisis ekonomi, pengangguran massal, dan rasa humilasi pasca-Perang Dunia I menciptakan tanah subur bagi ideologi ekstrem Hitler. Buku ini tidak hanya menjadi cetak biru untuk kebijakan Nazi, tetapi juga alat untuk memobilisasi massa melalui retorika kebencian dan janji kejayaan nasional.
Dampak Mein Kampf terasa jauh melampaui Jerman. Ideologi yang terkandung di dalamnya menginspirasi kebijakan genosida, termasuk Holocaust, yang merenggut jutaan nyawa. Bahkan setelah perang berakhir, gagasan supremasi ras dan nasionalisme ekstrem terus muncul dalam berbagai bentuk, dari kelompok neo-Nazi hingga gerakan populis sayap kanan di berbagai belahan dunia.
Relevansi di Abad Ke-21
Satu abad setelah penerbitannya, Mein Kampf tetap menjadi simbol bahaya ideologi kebencian. Meski hak cipta buku ini di Jerman telah berakhir pada 2015, memungkinkan penerbitan edisi kritis dengan anotasi sejarah, banyak negara masih membatasi distribusinya. Namun, di era digital, akses ke teks ini melalui internet menimbulkan tantangan baru. Kelompok ekstremis menggunakan platform online untuk menyebarkan ideologi serupa, sering kali dengan kemasan modern yang lebih halus namun tak kalah berbahaya.
Di Indonesia, meskipun Mein Kampf tidak memiliki pengaruh langsung dalam kehidupan sehari-hari, pentingnya memahami sejarahnya tidak boleh diabaikan. Pendidikan tentang Holocaust dan dampak ideologi ekstrem dapat membantu mencegah munculnya intoleransi dan diskriminasi. Dalam konteks global, kenaikan populisme, xenofobia, dan polarisasi politik menunjukkan bahwa gagasan yang pernah diusung Hitler masih memiliki daya tarik bagi sebagian kecil masyarakat yang merasa terpinggirkan.
Pelajaran untuk Masa Depan
Peringatan 100 tahun Mein Kampf adalah momen untuk merenungkan bagaimana ideologi kebencian dapat menyebar jika tidak ditangani dengan serius. Pendidikan, dialog antar budaya, dan penguatan nilai-nilai demokrasi menjadi kunci untuk melawan narasi intoleransi. Buku ini juga mengingatkan kita akan kekuatan kata-kata—baik untuk membangun maupun menghancurkan.
Sebagai masyarakat global, kita harus tetap waspada terhadap ideologi yang memecah belah, baik dalam bentuk aslinya maupun dalam wajah baru yang disesuaikan dengan zaman. Mein Kampf bukan hanya artefak sejarah, tetapi juga pengingat bahwa perjuangan melawan kebencian dan ekstremisme adalah tanggung jawab bersama yang tidak pernah usai.