JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja di wilayah perbatasan telah mencapai titik paling mematikan dalam satu dekade terakhir, memaksa lebih dari 100.000 warga sipil mengungsi dari rumah mereka. Pertempuran sengit yang melibatkan jet tempur F-16, artileri, tank, dan pasukan darat ini telah menewaskan sedikitnya 14 orang, sebagian besar warga sipil, dan melukai puluhan lainnya. Dengan eskalasi kekerasan yang terus berlanjut, dampak kemanusiaan dari sengketa wilayah ini semakin memprihatinkan.
Latar Belakang Konflik
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru. Akar konflik ini dapat ditelusuri hingga peta tahun 1907 yang dibuat pada masa penjajahan Prancis untuk memisahkan wilayah Kamboja dari Thailand. Salah satu titik panas adalah wilayah sekitar Kuil Preah Vihear, yang pada 1962 oleh Mahkamah Internasional ditetapkan sebagai milik Kamboja, namun tetap memicu ketegangan hingga kini. Konflik kembali memanas pada Mei 2025, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan kecil, memicu eskalasi militer dan diplomatik.
Pada 24 Juli 2025, pertempuran pecah di enam titik strategis di sepanjang perbatasan sepanjang 800 kilometer, termasuk di sekitar kuil kuno Ta Muen Thom dan Preah Vihear. Thailand menuding Kamboja memulai serangan dengan menembakkan roket dan mortir ke wilayahnya, sementara Kamboja membantah dan mengklaim bertindak untuk membela diri. Jet tempur F-16 Thailand dikerahkan untuk menyerang target militer Kamboja, sementara Kamboja meluncurkan roket BM-21, beberapa di antaranya menghantam desa-desa di Provinsi Surin, Thailand, menewaskan warga sipil, termasuk seorang anak berusia 12 tahun.
Dampak pada Warga Sipil
Dampak konflik ini sangat dirasakan oleh warga sipil di kedua sisi perbatasan. Di Thailand, Kementerian Dalam Negeri melaporkan lebih dari 100.000 warga dari empat provinsi perbatasan—termasuk Surin, Si Sa Ket, Ubon Ratchathani, dan Buriram—telah dievakuasi ke hampir 300 tempat penampungan sementara. Di Provinsi Surin, sebuah kompleks olahraga telah diubah menjadi pusat evakuasi, menampung mayoritas anak-anak dan lansia yang terguncang oleh serangan roket dan artileri. Seorang warga lokal, Sutian Phiwchan dari distrik Ban Dan, Provinsi Buriram, menggambarkan situasi mencekam: “Ini benar-benar serius. Kami sedang dalam proses evakuasi.”
Di Kamboja, warga di kota Samraong, sekitar 20 kilometer dari perbatasan, juga melarikan diri setelah mendengar tembakan artileri sejak pukul 06.00 pagi pada 25 Juli 2025. Pro Bak, seorang warga Kamboja berusia 41 tahun, mengungkapkan ketakutannya: “Kami ketakutan karena penembakan dimulai lagi. Saya harus membawa keluarga ke kuil Buddha untuk berlindung.” Para pengungsi, termasuk mereka yang selamat dari Perang Saudara Kamboja 1980-an, menyebut pertempuran ini sebagai yang terburuk yang pernah mereka alami.
Korban jiwa terus bertambah. Thailand melaporkan 14 orang tewas, terdiri dari 13 warga sipil dan satu tentara, sementara Kamboja mengonfirmasi satu warga sipil tewas. Infrastruktur sipil, seperti rumah sakit, pom bensin, dan toko Seven Eleven di Provinsi Si Sa Ket, menjadi sasaran serangan, memperparah krisis kemanusiaan.
Krisis Diplomatik dan Respons Internasional
Konflik ini telah memicu krisis diplomatik yang serius. Thailand mengusir duta besar Kamboja dan menarik utusannya dari Phnom Penh, sementara Kamboja menurunkan hubungan diplomatik ke tingkat terendah, hanya menyisakan satu diplomat di Thailand. Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, meminta sidang darurat Dewan Keamanan PBB pada 25 Juli 2025 untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Prancis, dan China, mendesak kedua pihak untuk menahan diri dan menyelesaikan konflik melalui dialog. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, selaku pemimpin ASEAN, mengimbau gencatan senjata, menyambut sinyal positif dari kedua negara untuk mempertimbangkan langkah damai. Namun, pertempuran terus berlanjut hingga malam hari, menunjukkan tantangan dalam mencapai perdamaian.
Faktor Politik dan Ketegangan Bilateral
Eskalasi ini diperumit oleh dinamika politik di kedua negara. Di Kamboja, Hun Manet, yang baru menjabat, dianggap belum memiliki otoritas penuh, sementara ayahnya, Hun Sen, diduga memanfaatkan konflik untuk memperkuat citra nasionalisnya. Di Thailand, pemerintahan koalisi di bawah Perdana Menteri sementara Phumtham Wechayachai tampak rapuh, terutama setelah skorsing Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra akibat kebocoran percakapan pribadi oleh Hun Sen. Hubungan pribadi antara Thaksin Shinawatra dan Hun Sen, yang sempat dekat, kini memburuk, memperkeruh upaya diplomatik.
Kedua negara juga telah menerapkan pembatasan ekonomi. Kamboja melarang impor buah, sayuran, bahan bakar, serta layanan listrik dan internet dari Thailand, sementara Thailand menutup perbatasan kecuali untuk kebutuhan esensial. Runtuhnya perdagangan perbatasan bernilai miliaran dolar ini semakin memperburuk dampak ekonomi bagi warga sipil.
Harapan untuk Penyelesaian Damai
Meskipun kedua negara menyatakan keinginan untuk menyelesaikan konflik secara damai, ketegangan terus berlanjut. Phumtham Wechayachai menegaskan bahwa sengketa harus ditangani dengan hati-hati sesuai hukum internasional, sementara Hun Manet menekankan respons bersenjata hanya sebagai pembelaan diri. Namun, tanpa pemimpin yang kuat untuk meredakan konfrontasi, risiko eskalasi tetap ada.
Komunitas internasional dan ASEAN diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif dalam memediasi konflik ini. Sidang darurat Dewan Keamanan PBB menjadi harapan untuk mendorong gencatan senjata dan dialog. Sementara itu, ribuan warga sipil yang kehilangan rumah dan mata pencaharian terus menanti solusi yang dapat mengembalikan kedamaian di perbatasan.
Konflik ini bukan hanya tentang sengketa wilayah, tetapi juga tentang harga kemanusiaan yang harus dibayar oleh warga sipil. Dengan lebih dari 100.000 pengungsi dan korban jiwa yang terus bertambah, dunia menanti langkah konkret untuk mengakhiri pertumpahan darah di perbatasan Thailand-Kamboja.