seriale-turcesti.biz – Tambang tembaga bawah tanah terbesar di dunia, El Teniente, yang terletak di Pegunungan Andes, Chili Tengah, pada ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut, mengalami bencana runtuhnya terowongan utama pada awal 2025. Kejadian ini menjebak sejumlah pekerja tambang di kedalaman lebih dari 1,6 kilometer di bawah permukaan bumi. Tim penyelamat kini berpacu dengan waktu untuk mengevakuasi para pekerja yang terperangkap, di tengah tantangan lingkungan yang ekstrem dan risiko runtuhan lebih lanjut.
Kronologi Runtuhan
Pada 15 Januari 2025, sebuah ledakan terkendali yang dilakukan sebagai bagian dari metode block caving—teknik penambangan bawah tanah yang umum digunakan di El Teniente—diduga memicu ketidakstabilan batuan di area terowongan utama. Menurut laporan awal dari Codelco, perusahaan tambang milik negara Chili yang mengelola El Teniente, getaran dari ledakan tersebut menyebabkan runtuhan batuan besar-besaran, menutup jalur utama akses ke permukaan. Sekitar 28 pekerja dilaporkan terjebak di kedalaman tambang, dengan pasokan oksigen dan makanan yang terbatas.
El Teniente, yang dikenal sebagai tambang tembaga bawah tanah terbesar di dunia, menghasilkan 443.000 ton tembaga per tahun dan merupakan salah satu tambang dengan cadangan terbesar di dunia. Runtuhan ini menandai insiden terburuk dalam sejarah operasional tambang sejak mulai beroperasi pada awal abad ke-20. Faktor seperti tekanan geologis akibat penambangan di kedalaman ekstrem dan akumulasi tegangan batuan diduga memperburuk situasi.
Tantangan Penyelamatan
Operasi penyelamatan di El Teniente menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks:
-
Kedalaman dan Kestabilan Batuan: Tambang ini beroperasi pada kedalaman hingga 1,6 kilometer, di mana tekanan batuan sangat tinggi. Menjaga stabilitas terowongan selama penyelamatan adalah prioritas utama untuk mencegah runtuhan tambahan. Tim geoteknik sedang bekerja untuk memetakan area yang aman untuk pengeboran jalur evakuasi.
-
Lumpur Basah dan Luncuran: Salah satu risiko terbesar di tambang bawah tanah adalah luncuran lumpur basah, yang dapat menimbun pekerja atau menghambat akses penyelamat. Sistem drainase tambang dilaporkan terganggu akibat runtuhan, meningkatkan risiko ini.
-
Pasokan Oksigen dan Waktu: Para pekerja yang terjebak berada di refuge chamber, ruang perlindungan darurat yang dirancang untuk menampung hingga 500 orang, seperti yang diterapkan di tambang bawah tanah Grasberg milik PT Freeport Indonesia. Namun, pasokan oksigen dan makanan di ruang ini terbatas, memberikan jendela waktu sekitar 48-72 jam untuk penyelamatan sebelum situasi menjadi kritis.
-
Kondisi Ekstrem: Suhu tinggi dan kelembapan di kedalaman tambang, ditambah dengan ruang kerja yang sempit, menyulitkan tim penyelamat yang menggunakan peralatan berat untuk membuka jalur. Komunikasi dengan pekerja yang terjebak juga terbatas karena kerusakan sistem komunikasi bawah tanah.
Tim penyelamat, yang terdiri dari ahli geologi, insinyur tambang, dan pasukan khusus Chili, telah mengerahkan teknologi canggih seperti drone bawah tanah dan pemindai termal untuk mendeteksi lokasi pekerja. Pengeboran jalur alternatif sedang dilakukan, tetapi kemajuan terhambat oleh risiko getaran yang dapat memicu runtuhan baru.
Dampak terhadap Industri Tembaga
El Teniente menyumbang bagian signifikan dari produksi tembaga Chili, yang merupakan negara penghasil tembaga terbesar di dunia dengan 5 juta metrik ton pada 2023. Penghentian operasi akibat runtuhan ini diperkirakan akan mengganggu pasokan tembaga global, yang sudah menghadapi tekanan akibat meningkatnya permintaan untuk energi hijau, seperti kendaraan listrik dan panel surya. Harga tembaga diprediksi akan melonjak lebih dari 75% dalam dua tahun ke depan, dan krisis ini dapat mempercepat kenaikan tersebut.
Codelco, sebagai operator El Teniente, berencana meningkatkan produksi tambang ini hingga lebih dari 500.000 ton pada 2025. Namun, insiden ini dapat menunda rencana tersebut, memaksa perusahaan untuk mengevaluasi ulang prosedur keselamatan dan metode penambangan. Insiden ini juga menyoroti risiko metode block caving, yang meskipun efisien untuk cadangan mineral yang luas, memiliki risiko runtuhan yang lebih besar dibandingkan metode stopping.
Respons dan Dukungan Internasional
Pemerintah Chili telah mengerahkan sumber daya nasional untuk mendukung operasi penyelamatan, termasuk bantuan dari militer dan tim ahli geoteknik internasional. PT Freeport Indonesia, yang mengelola tambang bawah tanah Grasberg di Papua—juga salah satu yang terbesar di dunia—telah menawarkan konsultasi teknis berdasarkan pengalaman mereka dalam mengelola tambang bawah tanah dengan metode block caving. Komunitas global, termasuk organisasi pertambangan dari Polandia (KGHM Polska Miedz) dan Indonesia (MIND ID), juga menyampaikan solidaritas dan dukungan.
Keselamatan di Tambang Bawah Tanah
Insiden ini kembali menyoroti bahaya penambangan bawah tanah, terutama di tambang dengan skala besar seperti El Teniente dan Grasberg. Di Grasberg, misalnya, PT Freeport Indonesia telah membangun refuge chamber terbesar di dunia untuk menampung 500 pekerja dalam situasi darurat, menunjukkan pentingnya infrastruktur keselamatan. Codelco kini berada di bawah tekanan untuk meningkatkan investasi dalam teknologi keselamatan, seperti pemantauan geoteknik real-time dan sistem peringatan dini untuk mendeteksi ketidakstabilan batuan.
Runtuhnya tambang El Teniente adalah pengingat akan risiko besar yang dihadapi pekerja tambang bawah tanah dan kompleksitas operasi di kedalaman ekstrem. Saat tim penyelamat berjuang melawan waktu untuk menyelamatkan pekerja yang terjebak, dunia menyaksikan dengan harapan dan solidaritas. Krisis ini tidak hanya berdampak pada Chili, tetapi juga pada pasar tembaga global, menekankan perlunya inovasi keselamatan dan pengelolaan risiko yang lebih baik di industri pertambangan. Masa depan El Teniente kini bergantung pada keberhasilan operasi penyelamatan dan langkah-langkah pemulihan yang akan diambil Codelco untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.