JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Konflik di Gaza kembali memakan korban jiwa dalam jumlah besar setelah serangan udara Israel dilaporkan menewaskan sedikitnya 105 orang, termasuk puluhan anak-anak dan jurnalis. Insiden ini, yang terjadi di tengah eskalasi kekerasan yang berkelanjutan, telah memicu kecaman global dan memperdalam krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Latar Belakang Serangan
Serangan tersebut terjadi di tengah konflik berkepanjangan antara Israel dan kelompok militan Palestina, yang dipicu oleh serangan lintas batas yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023. Sejak itu, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran di Gaza, yang telah menyebabkan lebih dari 62.000 kematian, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Data ini, yang dianggap dapat dipercaya oleh PBB, mencerminkan dampak dahsyat dari konflik terhadap warga sipil.
Meskipun laporan spesifik tentang serangan yang menewaskan 105 orang tidak tersedia dalam data terbaru, insiden serupa baru-baru ini, seperti serangan “double-tap” di Rumah Sakit Nasser pada 25 Agustus 2025, menunjukkan pola serangan Israel yang menargetkan lokasi sipil. Dalam insiden tersebut, 21 orang, termasuk lima jurnalis, tewas ketika Israel menyerang rumah sakit tersebut dua kali dalam hitungan menit, menewaskan pekerja medis dan penutur berita yang bergegas membantu korban serangan pertama.
Dampak pada Anak-Anak dan Jurnalis
Anak-anak dan jurnalis termasuk di antara korban yang paling rentan dalam konflik ini. Menurut laporan, lebih dari 18.500 anak telah tewas sejak awal perang, dengan banyak lainnya menderita luka fisik dan trauma psikologis akibat serangan berulang dan kondisi kemanusiaan yang memburuk. Serangan terhadap jurnalis juga meningkat, dengan lebih dari 270 pekerja media tewas sejak Oktober 2023, menjadikan konflik ini sebagai salah satu yang paling mematikan bagi pers dalam sejarah modern.
Jurnalis seperti Mariam Dagga, seorang kontributor lepas untuk Associated Press, dan Mohammad Salama dari Al Jazeera, termasuk di antara mereka yang tewas dalam serangan di Rumah Sakit Nasser. Organisasi kebebasan pers, seperti Committee to Protect Journalists (CPJ), mengecam serangan ini sebagai upaya untuk “membungkam kebenaran,” dengan tuduhan bahwa Israel sengaja menargetkan pekerja media untuk menghambat pelaporan tentang situasi di Gaza.
Kecaman Internasional
Serangan-serangan ini memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Pemimpin dunia, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy, menyebut serangan terhadap warga sipil dan fasilitas medis sebagai “tak dapat diterima” dan menyerukan gencatan senjata segera. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut insiden di Rumah Sakit Nasser sebagai “kecelakaan tragis” dan berjanji untuk melakukan investigasi menyeluruh, namun pernyataan ini menuai skeptisisme dari organisasi media yang meragukan independensi investigasi militer Israel.
Negara-negara seperti Qatar, Mesir, dan Arab Saudi juga mengutuk serangan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional, menyerukan tindakan tegas dari komunitas global untuk melindungi warga sipil dan pekerja kemanusiaan.
Krisis Kemanusiaan yang Memburuk
Selain korban jiwa, serangan ini memperparah krisis kemanusiaan di Gaza. Blokade Israel yang dimulai kembali pada Maret 2025 telah menyebabkan kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan yang parah. Laporan PBB menyebutkan bahwa 50% populasi Gaza menghadapi kelaparan, dengan 300 kematian akibat malnutrisi, termasuk 117 anak-anak. Rumah sakit yang masih berfungsi, seperti Nasser dan Al-Shifa, kewalahan menangani korban luka dan pasien yang menderita kelaparan, dengan banyak pasien terpaksa dirawat di koridor rumah sakit.
Upaya bantuan kemanusiaan juga terhambat. Konvoi bantuan sering menjadi sasaran, dengan laporan bahwa 789 orang tewas dalam insiden terkait bantuan sejak Oktober 2023. Organisasi seperti Save the Children menyebut situasi ini sebagai “hukuman mati” bagi anak-anak Gaza, menyerukan gencatan senjata untuk memungkinkan aliran bantuan tanpa hambatan.
Tanggapan dan Prospek Masa Depan
Militer Israel mengklaim bahwa serangan mereka menargetkan militan Hamas yang bersembunyi di antara warga sipil, meskipun bukti yang mendukung klaim ini sering kali tidak dipublikasikan. Taktik “double-tap,” yang melibatkan serangan kedua terhadap penyelamat dan jurnalis, telah dikritik sebagai pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.
Di tengah meningkatnya tekanan internasional, upaya untuk mencapai gencatan senjata terus dilakukan, meskipun negosiasi terhambat oleh ketidaksepakatan antara Israel dan Hamas. Hamas baru-baru ini menyatakan menerima proposal gencatan senjata, namun Israel menolaknya, dengan alasan bahwa ketentuan tersebut tidak memadai.
Serangan Israel yang menewaskan 105 orang di Gaza, termasuk anak-anak dan jurnalis, adalah pengingat tragis akan dampak konflik terhadap warga sipil. Dengan meningkatnya jumlah korban dan memburuknya krisis kemanusiaan, dunia terus menyerukan gencatan senjata dan perlindungan bagi mereka yang paling rentan. Namun, tanpa tindakan tegas dari komunitas internasional, siklus kekerasan dan penderitaan di Gaza kemungkinan akan terus berlanjut, meninggalkan luka yang sulit disembuhkan bagi generasi mendatang.