JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan dalam rapat Komisi III DPR RI yang digelar pada Jumat (4/7/2025). Pimpinan Komisi III, Habiburokhman, menegaskan bahwa tugas MK adalah menguji norma undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan menciptakan norma baru. Kritik ini muncul sebagai respons terhadap putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah, yang dianggap melampaui kewenangan konstitusional MK.
Latar Belakang Kritik
Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional (pemilihan DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden) pada 2029 dengan pemilu daerah (pemilihan DPRD dan kepala daerah) pada 2031 memicu polemik di kalangan legislatif dan masyarakat. Dalam rapat dengar pendapat umum, Komisi III mengundang tiga praktisi hukum—Taufik Basari, Patrialis Akbar, dan Valina Singka Subekti—untuk membahas dampak putusan tersebut. Rapat yang berlangsung selama dua jam di Gedung Nusantara II, Jakarta, menyoroti dugaan MK melanggar batas kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Habiburokhman menekankan bahwa MK hanya berwenang sebagai negative legislator, yaitu menghapus atau membatalkan norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, bukan sebagai positive legislator yang membentuk norma baru. “Tugas MK adalah menguji, bukan membuat aturan baru. Jika MK terus menafsirkan dan menciptakan norma, ini bisa menggoyahkan prinsip open legal policy yang menjadi wewenang DPR dan pemerintah,” ujar politikus Partai Gerindra tersebut.
Pandangan Para Ahli
Dalam rapat, Taufik Basari menyatakan bahwa putusan MK menciptakan dilema konstitusional. Menurutnya, jika putusan ini diimplementasikan melalui revisi UU Pemilu, justru dapat melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur pemilu diadakan setiap lima tahun sekali. “Jika dijalankan, melanggar konstitusi. Jika tidak dijalankan, juga melanggar konstitusi,” katanya. Ia juga menyoroti potensi kekosongan jabatan DPRD akibat jeda waktu hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dan daerah.
Sementara itu, Patrialis Akbar, mantan hakim MK yang kontroversial karena kasus korupsi, menyebut putusan MK bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) dan Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945. Ia berpendapat bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis, bukan melalui mekanisme pemilu yang diubah oleh MK. Kehadiran Patrialis dalam rapat ini menuai kritik dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, yang menyebutnya tidak pantas karena rekam jejaknya.
Reaksi dan Spekulasi
Rapat ini memicu spekulasi bahwa DPR, melalui Komisi III, berupaya melemahkan MK. Lucius Karus mengkhawatirkan bahwa pembahasan putusan MK menjadi pintu masuk untuk intervensi terhadap independensi MK, termasuk evaluasi kinerja hakim konstitusi. “Komisi III sepertinya mencari alasan untuk mengevaluasi MK, khususnya hakim-hakimnya,” ujar Lucius.
Namun, Habiburokhman membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa rapat ini hanya bertujuan memperkaya wawasan hukum tanpa mengarah pada delegitimasi MK. “Kami tidak menyudutkan MK. Kami ingin mendengar masukan dari para ahli untuk memahami dinamika putusan ini,” katanya. Anggota Komisi III dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, juga menegaskan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan Komisi III terhadap mitra kerja, termasuk MK.
Tanggapan Lain
Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, juga mengkritik MK dalam konteks serupa. Ia menyatakan bahwa pembentukan norma baru, seperti pemisahan pemilu, adalah wewenang DPR dan pemerintah, bukan MK. “Jika MK terus membuat norma, maka UUD 1945 harus diubah untuk menampung praktik itu. Tapi faktanya, Pasal 24C tidak memberikan kewenangan itu,” ujarnya.
Di sisi lain, politikus PKS, Nasir, menegaskan bahwa revisi UU MK yang tengah dibahas DPR bukan untuk membatasi kewenangan MK, melainkan untuk memperbaiki tata kelola lembaga tersebut sesuai konstitusi. “Tidak ada niat DPR untuk mengerdilkan MK. Kewenangan MK sudah jelas di UUD 1945,” katanya.
Implikasi ke Depan
Putusan MK ini mengharuskan DPR dan pemerintah merevisi UU Pemilu untuk mengakomodasi pemisahan pemilu nasional dan daerah. Namun, kritik dari DPR menunjukkan ketegangan antara legislatif dan yudikatif dalam menafsirkan kewenangan masing-masing. Jika tidak dikelola dengan baik, polemik ini dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap kedua lembaga.
Komisi III berencana melanjutkan diskusi dengan melibatkan lebih banyak pakar untuk merumuskan langkah legislatif yang konstitusional. Sementara itu, MK tetap mempertahankan putusannya sebagai final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Kritik DPR terhadap MK mencerminkan dinamika ketatanegaraan di Indonesia, di mana batas kewenangan antar lembaga sering menjadi sorotan. Meski Komisi III menegaskan bahwa rapat ini bukan untuk melemahkan MK, spekulasi tentang intervensi tetap mengemuka. Ke depan, kolaborasi yang konstruktif antara DPR dan MK diperlukan untuk memastikan stabilitas hukum dan demokrasi di Indonesia.