JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Polemik pengelolaan dana kas daerah kembali memanas di Jawa Barat. Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) secara tegas membantah tudingan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut Pemprov Jabar menyimpan Rp4,17 triliun dalam bentuk deposito di bank. Menurut Dedi, dana tersebut justru disimpan dalam rekening giro aktif untuk mendukung pembangunan infrastruktur, bukan diparkir demi bunga. Pernyataan ini disampaikan melalui video rekaman pada 21 Oktober 2025, memicu perdebatan nasional tentang transparansi keuangan daerah. Dengan ancaman pemecatan bagi pejabat yang berbohong, Dedi tak hanya membela diri, tapi juga menantang pemerintah pusat untuk buka data lengkap. Apa latar belakang isu ini, dan mengapa giro lebih disukai daripada deposito?
Latar Belakang Polemik: Tuduhan Pengendapan Dana Daerah
Isu ini bermula dari rapat koordinasi inflasi daerah yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 20 Oktober 2025. Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan, mengungkapkan data Bank Indonesia (BI) bahwa dana kas pemerintah daerah (pemda) mengendap di perbankan mencapai Rp233 triliun—termasuk Rp60,2 triliun dari pemprov. Dari 15 pemda yang disebut “menyimpan dana bukan di bank pembangunan daerah (BPD)”, Pemprov Jabar disebut menyumbang Rp4,17 triliun, menempati urutan kelima setelah DKI Jakarta (Rp14,6 triliun). Purbaya menekankan, praktik ini kurang optimal karena dana seharusnya mengalir ke BPD untuk dorong pertumbuhan ekonomi lokal, bukan “diparkir” di bank pusat yang hanya hasilkan bunga minim.
Dedi Mulyadi, yang baru menjabat gubernur sejak awal 2025, merasa tudingan ini menyerang kredibilitasnya. Ia langsung memeriksa data keuangan melalui Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta Bank Jabar Banten (BJB). Hasilnya: Tidak ada sertifikat deposito sebesar Rp4,1 triliun. “Saya sudah cek, tidak ada yang disimpan dalam bentuk deposito,” tegas Dedi dalam rilis resminya. Sebaliknya, kas daerah hanya Rp2,418 triliun, semuanya dalam giro aktif untuk biayai proyek akhir tahun.
Penjelasan Dedi: Giro Aktif untuk Percepat Pembangunan
Dalam video yang viral di Instagram @dedimulyadi71, Dedi menjelaskan bahwa giro adalah rekening tabungan likuid yang siap digunakan kapan saja, tanpa masa jatuh tempo seperti deposito. “Uang itu tersimpan dalam bentuk giro di BJB, bukan deposito. Ini dana pendapatan Pemprov untuk pembayaran kegiatan pembangunan,” ujarnya. Menurutnya, giro memastikan dana mengalir cepat ke infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan layanan publik—sesuai visi efisiensi anggaran di tengah pemangkasan transfer pusat Rp2,4 triliun.
Dedi juga mengkritik praktik deposito sebagai “pengendapan” yang tak produktif. “Bunga deposito hanya 4-5% per tahun, tapi kalau dana diputar di proyek lokal, dampaknya bisa 10 kali lipat untuk masyarakat,” katanya. Ia menambahkan, Pemprov Jabar telah kunci pengeluaran barang dan jasa non-esensial untuk hindari pemborosan, fokus pada belanja modal yang langsung untungkan rakyat.
Berikut perbandingan sederhana antara giro dan deposito berdasarkan penjelasan Dedi:
Aspek | Giro | Deposito |
---|---|---|
Likuiditas | Tinggi; bisa ditarik kapan saja tanpa penalti | Rendah; terkunci hingga jatuh tempo, penalti jika dicairkan dini |
Bunga | Rendah (0-1% per tahun) | Lebih tinggi (4-6% per tahun) |
Tujuan di Pemprov Jabar | Biayai proyek harian dan infrastruktur cepat | Tidak digunakan; dianggap “mengendap” dan kurang bermanfaat |
Jumlah Saat Ini | Rp2,418 triliun (aktif) | Rp0 (menurut Dedi) |
Respons Purbaya: “Periksa Sendiri, Saya Bukan Pegawai Jabar”
Purbaya tak tinggal diam. Saat ditantang Dedi untuk umumkan 15 daerah bermasalah, ia balas: “Saya bukan pegawai Pemprov Jabar. Periksa saja sendiri data di BI—ada identifikasi pemilik dan jenis simpanan.” Purbaya menegaskan, datanya agregat nasional dari sistem BI, bukan tudingan spesifik ke Jabar. “Saya heran, Dedi malah ungkap angka sendiri. Di BI, jelas giro vs deposito,” tambahnya. Ia juga persilakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) audit kas Jabar untuk transparansi.
Polemik ini mencerminkan gesekan pusat-daerah soal efisiensi APBD. Purbaya dorong pemda alihkan dana ke BPD untuk tekan inflasi dan dorong kredit usaha kecil (UKM), sementara Dedi anggap ini upaya “membangun opini negatif” terhadap pemda.
Ancaman Pemecatan dan Langkah Selanjutnya
Dedi tak main-main: Ia ancam copot pejabat yang “diam-diam buat deposito tanpa sepengetahuan” atau bohong soal data. Pada 22 Oktober 2025, ia gelar rapat seluruh pejabat Pemprov untuk verifikasi ulang, plus koordinasi dengan Kemendagri untuk cocokkan data. “Kalau ada yang ngibul, langsung copot! Ini soal amanah rakyat,” tegasnya. Langkah ini juga bagian dari komitmen Dedi hindari uang mengendap, fokus layanan publik seperti aplikasi “Nyari Gawe” untuk pencari kerja.
Kontroversi ini soroti isu nasional: Dari Rp233 triliun dana mengendap, berapa yang benar-benar “mengendap” vs “aktif”? Analis keuangan sebut, giro seperti di Jabar lebih sehat untuk ekonomi daerah, tapi data BI perlu diverifikasi independen agar tak jadi ajang politik. Bagi warga Jabar, ini janji Dedi: Dana APBD tak parkir, tapi kerja untuk kesejahteraan.
Polemik Dedi vs Purbaya bisa jadi katalisator reformasi. Jika BPK turun tangan, kejelasan data bisa pulihkan kepercayaan. Sementara itu, Dedi tetap gas: “Uang rakyat harus berputar, bukan diam di bank.” Apakah ini akhir perdebatan, atau awal audit nasional? Pantau terus—keuangan daerah tak lagi tabu.