JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sedang berada dalam masa reses, di mana para anggota dewan kembali ke daerah pemilihan (dapil) untuk menyerap aspirasi masyarakat. Namun, pada 29 Oktober 2025, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR justru menggelar sidang etik terbuka terhadap lima anggota DPR yang berstatus nonaktif. Sidang ini menyasar Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi NasDem, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, serta Uya Kuya dan Eko Patrio dari Fraksi PAN. Keputusan ini memicu pertanyaan: mengapa sidang digelar saat reses? Jawabannya, menurut Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, adalah izin khusus dari pimpinan DPR untuk memastikan proses hukum berjalan lancar tanpa mengganggu agenda sidang utama.
Latar Belakang Kasus: Kontroversi yang Memuncak
Kasus ini berakar dari gelombang protes publik pada Agustus 2025, yang dipicu oleh pernyataan kontroversial para anggota DPR terkait gaji dan tunjangan legislator. Ahmad Sahroni, misalnya, menyebut orang yang mengusulkan pembubaran DPR sebagai “tolol”, sebuah kata yang dinilai melanggar etika oleh mantan politikus Nazaruddin. Pernyataan serupa dari Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Adies Kadir juga dianggap memicu demo besar-besaran, termasuk penjarahan rumah Sahroni dan isu-isu terkait Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Akibatnya, fraksi masing-masing partai menonaktifkan mereka sejak 1 September 2025. Ketua Umum NasDem Surya Paloh secara tegas menonaktifkan Sahroni dan Nafa Urbach sebagai anggota DPR periode 2024-2029. Langkah serupa diambil oleh PAN dan Golkar. Nonaktifan ini bukan pemecatan permanen, melainkan menunggu putusan MKD untuk menentukan status akhir mereka—apakah tetap nonaktif, direhabilitasi, atau bahkan dicopot.
Sidang etik ini menjadi penentu nasib mereka, dengan agenda mencakup pemeriksaan bukti, keterangan saksi, dan putusan akhir. Beberapa dari mereka, seperti Sahroni, telah meminta maaf secara terbuka kepada publik.
Alasan Penjadwalan Saat Reses: Efisiensi dan Keadilan Proses
Pertanyaan utama yang muncul adalah mengapa sidang digelar di tengah reses, saat DPR tidak bersidang secara pleno? Dasco menjelaskan bahwa MKD telah mengajukan surat permohonan sejak minggu sebelumnya, dan pimpinan DPR memberikan izin khusus untuk sidang terbuka. “Pimpinan DPR sudah mengizinkan untuk mengadakan sidang terbuka MKD di masa reses,” ujar Dasco pada 22 Oktober 2025.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga momentum proses hukum. Jika ditunda hingga sesi DPR berikutnya, kasus ini berpotensi mandek lebih lama, yang bisa menimbulkan ketidakpuasan publik yang lebih besar. Selain itu, masa reses justru memungkinkan MKD fokus sepenuhnya pada agenda ini tanpa benturan dengan rapat-rapat komisi atau sidang paripurna. Dasco menekankan bahwa agenda sepenuhnya diserahkan kepada MKD, yang akan memulai sidang permulaan pada 29 Oktober, mirip seperti prosedur peradilan biasa: registrasi perkara, pemeriksaan, hingga putusan.
Wakil Ketua Umum NasDem Saan Mustopa juga menyatakan partainya akan mengikuti mekanisme MKD sepenuhnya, tanpa mendahului putusan. “Kita percaya kepada MKD untuk mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian,” tambahnya. Penjadwalan ini juga menunjukkan komitmen DPR untuk transparansi, karena sidang digelar secara terbuka meski di luar jadwal rutin.
Dampak dan Respons Partai Politik
Sidang ini bukan hanya soal individu, tapi juga ujian bagi integritas DPR secara keseluruhan. Publik yang masih trauma dengan demo Agustus 2025 menuntut akuntabilitas tinggi. Bagi NasDem, putusan MKD akan menentukan apakah Sahroni dan Nafa bisa kembali atau justru kehilangan kursi. Sementara itu, PAN dan Golkar juga dalam posisi serupa, dengan Uya Kuya dan Eko Patrio—dua figur publik dari dunia hiburan—menghadapi sorotan ekstra.
Beberapa analis politik menyebut penjadwalan saat reses sebagai langkah cerdas untuk meredam isu, karena minimnya liputan media dibandingkan saat sidang pleno. Namun, MKD menjamin proses tetap adil, dengan kemungkinan sanksi mulai dari teguran hingga pemecatan.
Menuju Putusan: Harapan Publik dan Reformasi DPR
Sidang etik pada 29 Oktober 2025 ini diharapkan membawa kejelasan bagi lima anggota nonaktif tersebut. Bagi Sahroni dkk, ini adalah kesempatan terakhir untuk membela diri dan memulihkan citra. Bagi DPR, ini menjadi momentum untuk mereformasi etika berbicara legislator, terutama di era media sosial yang cepat menyebarkan kontroversi.
