JAKARTA, seriale-turcesti.biz – Kasus suap yang melibatkan hakim nonaktif Djuyamto telah menjadi sorotan utama di Indonesia, mengguncang kepercayaan publik terhadap integritas sistem peradilan. Djuyamto, bersama dua hakim lainnya, didakwa menerima suap besar-besaran untuk memengaruhi putusan dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga korporasi besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Latar Belakang Kasus
Pada 19 Maret 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat mengeluarkan putusan kontroversial yang membebaskan tiga korporasi dari tuduhan korupsi terkait ekspor CPO tanpa izin pada periode Januari hingga Maret 2022. Putusan ini, yang dikenal sebagai vonis “ontslag van alle recht vervolging” (bebas dari segala tuntutan hukum), memicu kecurigaan karena bertentangan dengan bukti yang diajukan jaksa penuntut umum. Jaksa sebelumnya menuntut denda sebesar Rp 11,8 triliun untuk Wilmar Group, Rp 4,8 triliun untuk Musim Mas Group, dan Rp 937 miliar untuk Permata Hijau Group, karena ekspor ilegal tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 18,3 triliun akibat subsidi harga minyak goreng selama krisis pada 2022.
Pengakuan Bersalah Djuyamto
Djuyamto, yang menjabat sebagai ketua majelis hakim dalam kasus ini, mengakui menerima suap sebesar Rp 9,5 miliar untuk memastikan vonis bebas bagi ketiga korporasi. Pengakuan ini disampaikan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyelidikan intensif dan mengamankan bukti, termasuk penyitaan Rp 2 miliar yang diserahkan Djuyamto melalui pengacaranya pada Juni 2025. Uang tersebut kini disimpan di rekening penitipan Kejagung sebagai barang bukti tambahan.
Menurut dakwaan jaksa, suap diterima dalam dua tahap. Pada Mei 2024, Djuyamto menerima Rp 1,7 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan Singapura. Pada tahap kedua di September 2024, ia menerima tambahan Rp 7,8 miliar dalam dolar AS. Total suap yang diterima Djuyamto dan dua hakim lainnya, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom, mencapai Rp 21,9 miliar.
Kronologi Suap
Penyelidikan Kejagung mengungkap bahwa suap ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk:
-
Muhammad Arif Nuryanta, mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, yang menerima Rp 15,7 miliar.
-
Wahyu Gunawan, panitera muda PN Jakarta Utara, menerima Rp 2,4 miliar.
-
Ariyanto dan Marcella Santoso, pengacara korporasi, yang diduga mengatur aliran dana suap.
-
Muhammad Syafei, Kepala Jaminan Sosial dan Perizinan PT Wilmar Group, yang disebut sebagai pengatur utama dana suap sebesar Rp 60 miliar melalui Wahyu Gunawan.
Suap tersebut dimulai dengan pertemuan antara Ariyanto dan Wahyu Gunawan, di mana Wahyu menyatakan bahwa kasus harus “diatur” agar tidak menghasilkan putusan maksimal. Marcella kemudian bertemu dengan Syafei di sebuah restoran di Jakarta Selatan, di mana disepakati dana sebesar Rp 20 miliar untuk memastikan vonis bebas. Uang disalurkan melalui Arif Nuryanta, yang kemudian membaginya kepada tiga hakim dalam bentuk “goody bag” berisi dolar AS.
Dampak Hukum dan Sosial
Kasus ini telah menimbulkan guncangan besar pada sistem peradilan Indonesia. Pengakuan bersalah Djuyamto dan penahanan tiga hakim tersebut, bersama dengan penyitaan barang mewah seperti mobil Ferrari, Nissan GTR, dan Harley-Davidson, menggarisbawahi skala korupsi dalam kasus ini. Publik mengecam tindakan ini sebagai pengkhianatan terhadap integritas peradilan, dengan banyak pihak menyerukan investigasi transparan untuk mengungkap semua pihak yang terlibat.
Organisasi lingkungan seperti Satya Bumi menyoroti bahwa skandal ini mencerminkan krisis tata kelola industri minyak sawit di Indonesia. Mereka menyesalkan putusan bebas korporasi, yang dianggap memiliki alasan hukum lemah, seperti klaim bahwa kerugian negara tidak konkret dan bahwa kasus ini terkait sengketa perdata, bukan pidana.
Tindakan Hukum Selanjutnya
Sidang terhadap Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom dimulai pada 21 Agustus 2025 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Ketiganya ditahan di Rutan Salemba untuk penyelidikan lebih lanjut selama 20 hari. Kejagung juga terus menyelidiki pihak lain yang terlibat, termasuk pengacara dan perwakilan korporasi, meskipun berkas perkara mereka belum diserahkan ke pengadilan.
Pengakuan bersalah Djuyamto dalam kasus suap vonis bebas CPO menjadi cerminan buram integritas peradilan di Indonesia. Skandal ini tidak hanya mengungkap praktik korupsi di kalangan hakim, tetapi juga menyoroti tantangan dalam penegakan hukum terhadap korporasi besar. Dengan penyelidikan yang masih berlangsung, kasus ini diharapkan menjadi titik balik untuk reformasi peradilan yang lebih transparan dan akuntabel, demi memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.