seriale-turcesti.biz – Pada 20 Juli 2025, Suriah kembali menjadi sorotan dunia akibat konflik sektarian yang mematikan di provinsi Sweida, di mana suku Bedouin Sunni bertempur melawan milisi Druze. Presiden Interim Ahmad al-Sharaa mendesak suku Bedouin untuk “sepenuhnya mematuhi” gencatan senjata yang rapuh, yang bertujuan mengakhiri kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang dan mengungsi puluhan ribu lainnya. Konflik ini, yang diperburuk oleh intervensi militer Israel dan keterlibatan pasukan pemerintah, mengancam stabilitas transisi pasca-perang sipil di Suriah.
Latar Belakang Konflik
Konflik di Sweida memiliki akar dalam ketegangan sektarian dan sejarah panjang perpecahan di Suriah. Druze, sebuah kelompok minoritas agama yang merupakan cabang dari Islam Syiah dengan identitas unik, merupakan mayoritas di provinsi Sweida. Sementara itu, suku Bedouin Sunni, yang sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan, telah lama berselisih dengan komunitas Druze atas sumber daya dan pengaruh lokal. Selama perang sipil Suriah (2011–2024), Sweida relatif terisolasi dari konflik utama, dengan milisi Druze mengelola keamanan lokal dan menolak integrasi penuh dengan pasukan pemerintah.
Pada 13 Juli 2025, kekerasan meletus setelah penculikan seorang pedagang sayur Druze oleh suku Bedouin di sebuah pos pemeriksaan di jalan raya menuju Damaskus. Insiden ini memicu aksi balas dendam, dengan milisi Druze menahan beberapa anggota Bedouin, yang kemudian memicu eskalasi besar-besaran. Pasukan pemerintah Suriah yang dikirim untuk menenangkan situasi justru dituduh memihak Bedouin, memperburuk konflik dan menyebabkan ratusan kematian, termasuk warga sipil.
Kronologi Peristiwa
Konflik di Sweida meningkat pesat sejak 13 Juli 2025, dengan laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) memperkirakan lebih dari 900 orang tewas, termasuk 189 anggota pasukan pemerintah, 18 pejuang Bedouin, dan banyak warga sipil. Kekerasan ini ditandai dengan serangan tit-for-tat, termasuk pembakaran rumah, penjarahan, dan dugaan eksekusi sewenang-wenang oleh kedua belah pihak.
Pada 15 Juli, pasukan pemerintah Suriah masuk ke Sweida untuk memulihkan ketertiban, tetapi dituduh melakukan pelanggaran terhadap warga Druze, termasuk eksekusi dan perusakan properti. Hal ini memicu intervensi Israel, yang melakukan serangan udara terhadap konvoi militer Suriah dan bahkan markas Kementerian Pertahanan di Damaskus, dengan alasan melindungi komunitas Druze, yang memiliki ikatan erat dengan Druze di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Pada 16 Juli, gencatan senjata awal diumumkan, tetapi dengan cepat gagal karena ketidakpercayaan antara pihak-pihak yang bertikai. Pada 19 Juli, Presiden Interim Ahmad al-Sharaa, dalam pidato televisi, menyerukan gencatan senjata “segera dan menyeluruh,” dengan dukungan mediasi AS, Turki, dan negara-negara Arab. Gencatan senjata ini mencakup penarikan pasukan pemerintah dari Sweida, pengerahan pasukan keamanan internal untuk menjaga ketertiban, dan pembukaan koridor kemanusiaan. Namun, laporan dari AFP menyebutkan bahwa bentrokan masih terjadi di beberapa bagian Sweida pada 20 Juli, dengan milisi Druze melancarkan serangan balasan terhadap komunitas Bedouin.
Tantangan Gencatan Senjata
Gencatan senjata yang diumumkan pada 19 Juli menghadapi sejumlah tantangan besar:
-
Ketidakpercayaan Antar-Kelompok: Komunitas Druze, yang dipimpin oleh tokoh seperti Sheikh Hikmat al-Hijri, menolak gencatan senjata sebelumnya dan menyatakan skeptisisme terhadap pemerintah al-Sharaa, yang dipandang didominasi oleh kelompok Islamis Sunni.
-
Intervensi Eksternal: Serangan udara Israel, yang menewaskan anggota pasukan pemerintah dan warga sipil, telah memperumit situasi. Al-Sharaa menuduh Israel “mendorong Suriah ke fase berbahaya,” sementara Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar mengecam al-Sharaa karena “memuji jihadisme” dan meminta komunitas internasional untuk melindungi minoritas Suriah.
-
Krisis Kemanusiaan: Menurut PBB, sekitar 80.000 orang telah mengungsi akibat kekerasan di Sweida, dengan layanan penting seperti air, listrik, dan telekomunikasi lumpuh. Rumah sakit di Sweida dan Daraa kewalahan, dan pengiriman bantuan kemanusiaan terhambat oleh ketidakamanan dan penutupan jalan.
-
Pelanggaran HAM: Laporan PBB oleh Volker Türk menyoroti pelanggaran HAM yang meluas, termasuk eksekusi sewenang-wenang dan penjarahan, yang dilakukan oleh pasukan pemerintah, milisi Druze, dan kelompok Bedouin.
Implikasi dan Pelajaran
Konflik di Sweida menyoroti kerapuhan transisi pasca-perang sipil Suriah, yang berakhir dengan penggulingan Bashar al-Assad pada Desember 2024. Pemerintahan interim al-Sharaa, yang dipimpin oleh mantan anggota kelompok Islamis, menghadapi tantangan besar dalam menyatukan berbagai kelompok etnis dan agama di Suriah, termasuk Druze, Alawit, dan Kurdi. Ketegangan sektarian, yang diperburuk oleh perang sipil selama 14 tahun, tetap menjadi ancaman utama bagi stabilitas.
Gencatan senjata ini, meskipun rapuh, menawarkan harapan untuk meredakan kekerasan, tetapi keberhasilannya bergantung pada kemampuan al-Sharaa untuk menegakkan otoritas negara tanpa memihak, serta kerja sama dari komunitas lokal dan aktor eksternal seperti Israel, AS, dan Turki. Tokoh Druze seperti Sheikh Sami Abi al-Muna dari Lebanon menyerukan dialog nasional untuk mengatasi akar konflik, sementara Walid Joumblatt menyerukan pembentukan komite investigasi untuk menyelidiki pelanggaran terhadap Druze dan Bedouin.
Gencatan senjata di Sweida adalah langkah awal menuju perdamaian di wilayah yang dilanda konflik sektarian, tetapi tantangan yang dihadapi menunjukkan kompleksitas membangun Suriah yang bersatu pasca-perang. Dengan ratusan kematian dan puluhan ribu pengungsi, dunia menyaksikan upaya rapuh untuk memulihkan stabilitas. Komunitas internasional, termasuk PBB dan mediator seperti AS, harus terus mendukung dialog dan bantuan kemanusiaan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.